Tuesday, June 16, 2009

Die Zeit vergeht sehr Schnell

Die Zeit Vergeht sehr Schnell
Draußen ist das Wetter nicht so freundlich. Seit Anfang dieser Woche ist es eigentlich noch wie das Wetter Ende des Winters. So schlecht und ab und zu regnerisch. Obwohl dieser Monat Juni ist, aber trotzdem ist die mächtige Sonne noch schüchtern raus zu gehen. Im Juni, basiert auf meinem eigenen Kalender, habe ich mehrere wichtige Sache, nämlich der Ende des Sprachkurses, die DaF-Prüfung, und auch die Zulassung von der Uni Berlin. Am 5. Juni 2009 war meine letzter Tag beim Sprachkurs in der VHS, Bad Homburg. Seit Anfang des Tages hatte ich das Gefühl, dass das es ist. Alles hat die Endzeit. Meine einzige Aktivitäten ist endlich beendet. Ich konnte mir nicht regelmäßig mit meinen weltweiten Freundinnen wieder treffen und plaudern. Ich konnte auch nicht mehr mit meiner netten geduldigen Lehrerin, Fr. Lehmann, treffen. Ich habe tief Gefühl an alle, hier die Stimmung der Klasse, die Lernstoffe, die manchmal sehr langweilig und anstrengend waren, die Pause, wo wir uns unsere Brot oder Kekse einfach ausgetauscht haben, die Probetest, die ich normalerweise zwei Aufgaben sowohl beim C1 als auch beim Test-DaF gemacht habe, unser einziger Ausflug nach Modern Kunst Museum in Frankfurt, und auch viele Hausaufgaben.
Über die Stimmung der klasse möchte ich gerne beschreiben. In der Klasse hatten wir zwei Seite. Die gesprächige Seite, die aus Zamira, Nandha, Julia, Katka, Lenka, Gayane, und Beate bestand. Die ruhigere Seite bestand aus Juliana, Liudmyla, Renata und zwei schlauen japanischen Frauen, nämlich Noriko und Mitsuko. Ganz in der Mitte saßen zwei polnischen Frauen, die gerne etwas erzählten, aber leider war diese Geschichte nur für sich selbst. Aber ich muss ehrlich sagen, dass manchmal ihre Geschichte oder die Quatsche unter uns so laut waren und das war wirklich eine Belastung für die ganze Teilnehmern. Die nette Lehrerin war natürlich belastet, aber sie war niemals auf uns böse. Sie hatte nur gesagt, dass alle unsere Sache gewesen sei. Dieser Satz sagte Sie immer, wenn wir unsere Hausaufgaben nicht gemacht oder einfach nicht abgegeben hatten. Dann sagte sie, wenn ihr irgendetwas sagen wolltet, dann mach BITTE nach dem Kurs oder einfach raus von hier!! Ich traf nie mit solcher netten geduldigen Lehrerin. Ihre Reaktion war so elegant, finde ich.Wenn ich an ihrer Stelle wäre, dann würde ich schnell schon explodieren, wie eine Bombe. Das bin ich, die immer an etwas schnell ,,anbrennen werden''. Wir hatten auch viele langweilige einschlafende Moments, besonders bevor oder nach einem Probetest. Mir persönlich war sehr langweilig, weil ich eigentlich DaF machen wurde, aber meistens wollte gerne C1-Prüfung machen. Als eine Folge musste ich 2 Aufgaben sowohl DaF als auch C1 machen. Aber glücklicherweise hatte ich immer Zeit, alle Aufgaben zu erledigen.
Nun ja ist jetzt alle nur eine Geschichte. Circa sechs Monate hatten wir zusammen schon verbracht. Es war bezüglich der Teilnehmermenge immer klein geworden. Jemand kam, danach schon wieder ging und am Ende hatten wir uns nicht mehr gesehen.Am 5. Juni hatten wir, ca. 10 Mädchen, unsere Abschiedsparty schon gefeiert. Jeder von uns hatte etwas besonderes von unserem Heimatland gezeigt und geteilt. Durch Tanzen, Brot, Marmelade, eine leckere Kuchen hatten wir uns in der Freude gemischt. Ich hab mich über eine Familie gefühlt. Ich weiß, mein Gefühl ist so übertrieben. Aber es ist alles ehrlich. Ich hatte die schöne Abschiedsparty. Ende der Party hatten wir uns umarmt und auch uns unsere Daumen gedrückt. Alles Erfolg für die C1 Prüfung und auch den Test-DaF. Ich selbst hat schon meine Prüfung gemacht. Ich kann jetzt sagen, dass ich mein Bestes in der Prüfung gegeben habe. Wir sehen uns zusammen, was mein Ergebnis auf meines Zertifikat wird. Ich wollte mich nur für viele Sachen bei vielen Menschen bedanken. Bei Frau Lehmann für alle DaF Bücher, alle kontrollierte Schriftlicherausdrucken, das Geduld, alle verbesserte in der Aussprache, Grammatik, Vokabular, und noch so viele, die ich möglicherweise vergessen habe. Aber insgesamt wollte ich mich für eine tolle Hilfe bedanken. Außerdem bedanke ich auch für die neue Freundschaft mit vielen klugen interessanten einzigartigen Menschen. Ihr habt nicht bemerkt, dass ich durch eure Kenntnisse etwas gelernt habe.Ihr machtet die Klasse sehr lebendig. Zum Schluss lassen sie mich eine Hoffnung haben. Hoffnung wieder zu treffen, Hoffnung für alles Gutes und Bestes für euch.. Danke für die kurze Geschichte, obwohl die Zeit sehr schnell vergeht.

Friday, June 30, 2006

Tidak semua orang Asia datang dari Cina - Ola

Terus terang, bahasa jerman itu susah sekali. Mungkin kami orang Indonesia terkenal mudah dengan cepat belajar bahasa-bahasa asing yang ada di eropa , karena tulisan bahasa Indonesia yang berbasis bahasa latin, tidak seperti beberapa negara Asia lainya, yang mempunyai bentuk tulisan sendiri. Tetapi kalau boleh dibilang, cara bicara kami belum sejago pengetahuan grammar kami.

Sejak pertama datang ke Jerman, aku sering tidak percaya diri jika harus berbicara langsung dalam bahasa Jerman, takut tidak dimengerti. Dan itu memang benar terjadi. Padahal susunan kalimat yang aku pakai sudah baik secara grammar, tetapi tetap saja tidak dimengerti, dan aku harus bersusah payah untuk menjelaskannya berulang-ulang. Kupikir dalam hati, “akh… namanya juga baru adaptasi!”,

Setelah hampir 3,5 tahun aku di sini, sepertinya setiap hari seperti adaptasi, adaptasi yang tidak berujung. Jika aku bertemu orang di jalan dan ingin bertanya sesuatu, aku belum bertanya, tetapi mereka sudah mengernyitkan dahinya seperti sedang berpikir keras untuk berusaha mengerti apa yang akan kukatakan. Tetapi setelah mendengar suaraku keluar, mereka malah heran. “Bahasa Jermanmu bagus!" katanya.

Aku tidak berpikir rasis, tetapi aku tidak suka jika kebanyakkan orang berpikir bahwa semua orang Asia itu berasal dari Cina, seperti satu benua isinya cuma satu negara saja. Dan kebanyakkan orang-orang Asia yang memiliki intonasi kental dalam bahasa mereka sulit mengubah aksen mereka saat berbicara bahasa asing lain sehingga membuat sulit dimengerti. Dan masalah ini sebenernya tidak dimiliki oleh orang Indonesia, apalagi yang besar di Ibukota.

Tapi apa boleh buat, mereka cuma melihat muka kita Asia, dan disamaratakan begitu saja.
Sebelum aku berangkat ke Jerman, banyak teman-teman mengantipasi bahwa di Jerman banyak orang yang rasis terhadap orang asing, mungkin karena jaman Nazi dahulu, tetapi aku tidak memusingkannya.

Sesampainya aku di sini, untungnya tidak seekstrem yang teman-temanku katakan. Memang masih ada beberapa yang berlaku rasis, seperti saat aku mencari apartment, aku cuma menelepon dan dia mendengar aksenku yang berbeda, dia langsung bilang Anda tidak mengerti bahasa Jerman, apartmentnya sudah penuh. Tapi pikirku, mungkin karena aku baru beberapa bulan di sini, bahasa Jermanku memang belum begitu bagus.

Tetapi ada kejadian lain, setelah 2 tahun di Jerman. Saat itu aku belanja di supermarket dengan teman-teman dari Filipina, kami belanja banyak steak dan sosis karena kami ada acara barbeque bersama. Saat mengantri di kasir, orang di depan kami bertanya mengapa aku dan temanku berbicara dalam bahasa Jerman, padahal kami sama-sama orang Asia. Lalu kami menjelaskan kalau kami berasal dari Negara yang berbeda dan memiliki bahasa yang berbeda.

Percakapan itu berlangsung dengan baik-baik saja, sampai giliran orang itu membayar, tiba-tiba dia datang menanyakan uang 15 cent, tetapi sayangnya kami tidak ada yang bawa uang tunai saat itu, tetapi kami berusaha mencari-cari uang kecil, berharap ada yang terselip, tetapi sebelum kami mendapatkannya, orang tersebut marah-marah, katanya kita tidak mau memberikan uang meskipun hanya 15 cent padahal kami belanja banyak sekali, dan dia juga bilang darimana kami dapat uang, sedangkan kami cuma orang asing, bisa belanja banyak barang, kalian pasti mengambil uang Negara saya, katanya.

Aku cuma bisa terkejut dan terdiam, dan terdengar temanku menjawab dengan kesal, saya bekerja dan saya bayar pajak. Lalu orang itupun diusir keluar oleh kasir karena mengganggu pelanggan lain. Tetapi kejadian ini tidak merusak penilaianku terhadap satu bangsa, aku tetap berusaha mengenal dan menerima setiap orang sebagai individu yang berbeda. Seperti kata pepatah, Tak Kenal makanya Tak Sayang!

Thursday, June 29, 2006

A Friend in Need is a Friend In Deed - Nita

Mungkin waktu itu gue masih terlalu kecil buat mengerti kalo yang namanya penyakit kanker itu merupakan penyakit yang mematikan banget. Mungkin pikiran lugu itu yang bikin gue nyantai dan ga mikir apa-apa waktu tau kalo gue emang mengidap penyakit itu. Dokter di Jakarta (inisialnya Dr. S dan Dr. C) mendiagnosis kalo gue mengidap kanker kelenjar thyroid dan harus segera dioperasi.

Orang tua gue langsung ngambil keputusan dengan menerbangkan gue ke Singapur buat dioperasi secepatnya. Jujur aja, sampe detik gue berada di ruang operasi, gue ga pernah kepikiran kalo operasi gue ini adalah operasi besar dan sulit.

6 jam kemudian gue sadar dari pengaruh obat bius dan mendapati keadaan gue bagaikan dipasung. Selang infus terpasang bukan hanya di lengan kiri dan kanan gue tetapi juga di pergelangan tangan kira dan kanan serta leher. Seorang perawat mendekati dan menanyakan keadaan gue tetapi ketika gue berusaha menjawab, tidak ada suara yang keluar.

Barulah setelah itu gue tahu bahwa ternyata untuk sementara gue memang tidak dapat bersuara akibat dari operasi tersebut. Gue juga tidak dapat bergerak karena banyaknya infus dan jarum suntik yang melekat di badan gue.

Pada saat tersebut, entah kenapa gue merasa sangat tidak berdaya. Bahkan untuk menelan ludah saja enggak bisa. Waktu itu gue bahkan kepikiran mending mati aja daripada ngerasai dipasung kaya gini. Akhirnya suatu malam gue nangis sejadi-jadinya. Nangis aja ga bisa ngeluarin suara. Gue bahkan sempet meronta-ronta yang akhirnya bikin perawat di situ sibuk nenangin gue. Gue baru bisa ditenangin setelah akhirnya gue disuntik obat penenang.

Setelah gue tenang, gue ga tau kenapa tiba-tiba aja bayangan temen-temen gue di Sanur tiba-tiba aja melayang-layang di pikiran gue (ada bayangannya Stella, Ida, Mochie, Pade, Yiska, etc). Gue juga tiba-tiba keingetan kalo bentar lagi itu Natal. Seketika gue tiba-tiba pengen banget cepetan sembuh. Gue pengen buru-buru keluar dari rumah sakit. Gue pengen balik lagi ke sekolah ketemu ama temen-temen gue n ngucapin Merry Christmas ke mereka.

Akhirnya sejak malem itu, gue bener-bener tenang buat nunggu saat-saat gue diijinin pulang ama dokter. Well, akhirnya sebulan kemudian gue boleh pulang juga ama dokter n rasanya happy... banget.

Gue bener2 ngerasa bersyukur banget punya orang-orang yang bisa gue bilang temen waktu itu. Kalo enggak, mungkin juga malem itu gue udah nyerah kalah ama jarum suntik dan infus di badan gue.

Thanks ya guys for being my true friends.

Wednesday, June 28, 2006

I Am Not Alone - Dite

Kadang, gue suka ngerasa sendirian. Maksudnya, banyak sahabat-sahabat gue yang sudah punya pacar, dan sepertinya sudah cukup yakin untuk menjadikan pacar mereka itu jadi suami di masa depan. Sedangkan gue, punya calon pacar aja belum. Kok, gue sendirian ya?

Tapi terus gue inget. Sebenernya, gue ga pernah sendirian. Ada keluarga besar gue yang selalu ada buat gue, yang sangat mencintai gue. Cuma, kadang gue suka lupa akan ‘keberadaan’ mereka. Gue kadang terlalu asik sama diri gue sendiri. Keegoisan gue membuat gue berpikir kalau hidup gue ‘menderita’. Gue nggak punya siapa-siapa untuk gue sayang-sayang. Padahal jelas-jelas ada keluarga besar gue yang bisa gue sayang-sayang, dan pasti menyayangi gue juga.

Walaupun gue kadang suka lupa, tapi kalau ada yang bertanya, siapa orang yang paling berarti buat gue, gue pasti akan langsung menjawab, my super big famz. Buat gue, mereka adalah segalanya. Mereka adalah orang-orang yang selalu mendukung dan menerima gue apa adanya. Apapun yang gue lakukan, mereka akan selalu mendukung gue. Mereka akan selalu bantuin gue melewati semuanya. Seberapa besar pun gue ‘mengkhianati’ mereka, kalau gue bener-bener butuh bantuan, mereka pasti akan berusaha sebesar-besarnya membantu gue. Mereka adalah orang-orang yang sayang sama gue waktu gue ngerasa kalo gue nggak pantas untuk disayang. Mereka adalah orang-orang yang sayang dan menerima gue apa adanya. No matter what.

Gue berpikir, mungkin memang belum waktunya gue ketemu sama jodoh gue. Belum waktunya punya pacar. Tidak punya pacar itu bukan suatu bencana besar kok sebenernya. Gue berpikir gue harus mencoba untuk santai. Suatu hari nanti pasti gue akan ketemu sama jodoh gue. Tapi kalau gue berpikir bahwa gue sendirian, itu salah besar. Gue akan selalu punya keluarga besar gue. Mereka adalah suporter gue yang paling setia. The best ever. I love my super big famz.
[1] Gue memakai frase “keluarga besar” di sini karena yang gue maksud bukan cuma kedua orang tua dan adik perempuan gue aja, tapi termasuk dua paman, dua tante, dan lima sepupu gue, yang sudah seperti orang tua dan saudara kandung gue.

Tuesday, June 27, 2006

Dreams will take us higher… - Wanda

Hadapi suatu bagian hidupku yang tiada bertepi
Berharap adanya suatu ujung yang bertepi
Entah kapan aku dapat berharap itu
Lamunan indah selalu membawaku ke akhir bahagia
Tetapi saat mata terbuka kembali menghadapi kenyataan
Bahwa kebahagiaan itu masihlah sangat jauh dari genggamanku
Tidaklah lelah menanti,
Karena aku tahu akhir bahagia adalah hak yang pasti kudapat
Aku hanya lelah bertanya pada hatiku,
Mengapa aku belum boleh mengecapnya
Ya..pertanyaan manusiawi bukan ?
Suatu hari,
Lamunanku akan menjadi realita yang akan ku jalani
Aku percaya…


“Bermimpilah selagi kita masih dapat bermimpi. Dari mimpi, terkadang kita menemukan apa yang kita mau dalam hidup kita. Bawalah mimpi itu dalam setiap doa dan raihlah dengan segenap kekuatan terbaikmu. Mimpi biasanya akan terwujud bila berjalan dengan iman…”


by : WeEmKa’06

Friday, June 23, 2006

Butterfly with the Broken Wings - Yiska

Butterfly with the Broken Wings
Lying down in the dry grass
Tries to pull up and gather some strength left
Just to try to safe herself
from danger that might come at their best

Butterfly with the Broken Wings
Clapping the wings and she tries to swing
to a place where there’ll be come morning
Cherish all the upcoming grace life will bring

Butterfly with the Broken Wings
Hate the rain as it falls from the sky
The rain that won’t let her wings run dry
The rain that tore her wings when she flies
The rain that made her let her teardrops cry

Butterfly with the Broken Wings
Now breathe uneasy from time to time
Made me realize she caught me inside

Thursday, June 22, 2006

Meski ia tak`kan pernah tahu…. - Nandha

Jam weker kuningku pemberian salah seorang teman sudah menunjukkan pukul duabelas malam hari, tetapi mataku belum mau terpejam mengingat kejadian hari ini antara aku dan Dito.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku mendapat satu pesan baru yang ternyata adalah balasan dari sms dari Dito yang kukirimkan 5 jam yang lalu. “maaf, bukan loe yg salah… Cuma gw aja yg lg error. Semua mslh ada di gw, gw jg ga ngerti knp gw bisa jadi org yg aneh. Suatu saat gw akan cerita ke loe. Semoga loe selalu bisa mendapatkan yg terbaik di hidup loe ”

Ternyata itu adalah sms terakhir darinya.
Semua cerita indah yang pernah aku dan dia buat selama sekitar empat bulan selesai sudah dalam satu hari. Karena apa, sampai sekarang pun aku tak pernah mengetahuinya.Waktu yang pernah ia janjikan di sms terakhirnya tidak pernah datang.

Jujur pada awalnya aku memang sangat menantikan “suatu saat” yang pernah ia janjikan padaku. Menurutku ia harus bertanggung jawab terhadap perasaan kagumku yang mulai menjelma rasa sayang padanya.

Kecewa, sedih, benci dan bingung bercampur aduk. Aku merasa dipermainkan karena sebelumnya tidak ada satupun pertanda yang menunjukkan ia mulai menjauh dariku.

Cukup.
Jika memang dia tidak mau mengatakan penyebab mengapa ia memutuskan hilang dari duniaku, aku akan mencari tahu dari orang-orang terdekatnya. Aku sangat giat mencari tahu, tetapi tak satu pun jawaban kutemukan.

Entah karena lelah atau sudah sanggup menerima semuannya, akhirnya setelah empat bulan berselang aku mulai menyadari hikmah yang ada di balik itu semua.
Dahulu sebelum ada Dito, yang datang secara tiba-tiba dalam kehidupanku, aku adalah seorang perempuan yang selalu berpikir bahwa: Selama perempuan mampu melakukan semuanya sendiri, peran laki-laki masih dapat dikesampingkan.

Pemikiran ini muncul berdasarkan latar belakang pendidikan sekolah menengahku. Selama tiga tahun di sekolah homogen, aku diajarkan bagaimana cara bersikap, bergaul dan berpikir logis mandiri demokratis tanpa embel-embel jenis kelamin.
Kami, para perempuan, mampu melakukan banyak hal.

Di rumahku pun, aku adalah anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Papa mengajarkan kami untuk tidak cengeng dan manja dalam menghadapi suatu masalah . Pemikiran yang terus kupegang teguh selama inilah yang membuat beberapa teman menganggapku terlalu sombong dan idealis tentang sosok pria.

Aku tak peduli. Bahkan tak jarang aku dicap terlalu “picky” dalam memilih pria, itu sebabnya sampai sebelum aku bertemu Dito, belum ada satu pun pria yang sanggup membuatku mengakui bahwa ternyata aku membutuhkan peran laki-laki dalam hidupku.

Aku memang telah kehilangan Dito karena alasan yang aku tidak pernah tahu dan tidak mau tahu lagi. Aku sudah cukup senang dengan caraku sendiri dalam menata perasaannku yang pernah carut marut karenanya.

Aku tidak menyesal, meskipun Dito tidak pernah tahu apa kata hatiku, setidaknya aku bisa dengan jujur mengakui bahwa seorang Dito yang datang secara tiba-tiba,kemudian membuat banyak cerita indah dan secara tiba-tiba pula menghilang dalam kehidupanku, ternyata sanggup mengubah pandanganku bahwa sesungguhnya pria ada untuk melengkapi perempuan demikian pula sebaliknya. (Nandha)