Friday, June 30, 2006

Tidak semua orang Asia datang dari Cina - Ola

Terus terang, bahasa jerman itu susah sekali. Mungkin kami orang Indonesia terkenal mudah dengan cepat belajar bahasa-bahasa asing yang ada di eropa , karena tulisan bahasa Indonesia yang berbasis bahasa latin, tidak seperti beberapa negara Asia lainya, yang mempunyai bentuk tulisan sendiri. Tetapi kalau boleh dibilang, cara bicara kami belum sejago pengetahuan grammar kami.

Sejak pertama datang ke Jerman, aku sering tidak percaya diri jika harus berbicara langsung dalam bahasa Jerman, takut tidak dimengerti. Dan itu memang benar terjadi. Padahal susunan kalimat yang aku pakai sudah baik secara grammar, tetapi tetap saja tidak dimengerti, dan aku harus bersusah payah untuk menjelaskannya berulang-ulang. Kupikir dalam hati, “akh… namanya juga baru adaptasi!”,

Setelah hampir 3,5 tahun aku di sini, sepertinya setiap hari seperti adaptasi, adaptasi yang tidak berujung. Jika aku bertemu orang di jalan dan ingin bertanya sesuatu, aku belum bertanya, tetapi mereka sudah mengernyitkan dahinya seperti sedang berpikir keras untuk berusaha mengerti apa yang akan kukatakan. Tetapi setelah mendengar suaraku keluar, mereka malah heran. “Bahasa Jermanmu bagus!" katanya.

Aku tidak berpikir rasis, tetapi aku tidak suka jika kebanyakkan orang berpikir bahwa semua orang Asia itu berasal dari Cina, seperti satu benua isinya cuma satu negara saja. Dan kebanyakkan orang-orang Asia yang memiliki intonasi kental dalam bahasa mereka sulit mengubah aksen mereka saat berbicara bahasa asing lain sehingga membuat sulit dimengerti. Dan masalah ini sebenernya tidak dimiliki oleh orang Indonesia, apalagi yang besar di Ibukota.

Tapi apa boleh buat, mereka cuma melihat muka kita Asia, dan disamaratakan begitu saja.
Sebelum aku berangkat ke Jerman, banyak teman-teman mengantipasi bahwa di Jerman banyak orang yang rasis terhadap orang asing, mungkin karena jaman Nazi dahulu, tetapi aku tidak memusingkannya.

Sesampainya aku di sini, untungnya tidak seekstrem yang teman-temanku katakan. Memang masih ada beberapa yang berlaku rasis, seperti saat aku mencari apartment, aku cuma menelepon dan dia mendengar aksenku yang berbeda, dia langsung bilang Anda tidak mengerti bahasa Jerman, apartmentnya sudah penuh. Tapi pikirku, mungkin karena aku baru beberapa bulan di sini, bahasa Jermanku memang belum begitu bagus.

Tetapi ada kejadian lain, setelah 2 tahun di Jerman. Saat itu aku belanja di supermarket dengan teman-teman dari Filipina, kami belanja banyak steak dan sosis karena kami ada acara barbeque bersama. Saat mengantri di kasir, orang di depan kami bertanya mengapa aku dan temanku berbicara dalam bahasa Jerman, padahal kami sama-sama orang Asia. Lalu kami menjelaskan kalau kami berasal dari Negara yang berbeda dan memiliki bahasa yang berbeda.

Percakapan itu berlangsung dengan baik-baik saja, sampai giliran orang itu membayar, tiba-tiba dia datang menanyakan uang 15 cent, tetapi sayangnya kami tidak ada yang bawa uang tunai saat itu, tetapi kami berusaha mencari-cari uang kecil, berharap ada yang terselip, tetapi sebelum kami mendapatkannya, orang tersebut marah-marah, katanya kita tidak mau memberikan uang meskipun hanya 15 cent padahal kami belanja banyak sekali, dan dia juga bilang darimana kami dapat uang, sedangkan kami cuma orang asing, bisa belanja banyak barang, kalian pasti mengambil uang Negara saya, katanya.

Aku cuma bisa terkejut dan terdiam, dan terdengar temanku menjawab dengan kesal, saya bekerja dan saya bayar pajak. Lalu orang itupun diusir keluar oleh kasir karena mengganggu pelanggan lain. Tetapi kejadian ini tidak merusak penilaianku terhadap satu bangsa, aku tetap berusaha mengenal dan menerima setiap orang sebagai individu yang berbeda. Seperti kata pepatah, Tak Kenal makanya Tak Sayang!

Thursday, June 29, 2006

A Friend in Need is a Friend In Deed - Nita

Mungkin waktu itu gue masih terlalu kecil buat mengerti kalo yang namanya penyakit kanker itu merupakan penyakit yang mematikan banget. Mungkin pikiran lugu itu yang bikin gue nyantai dan ga mikir apa-apa waktu tau kalo gue emang mengidap penyakit itu. Dokter di Jakarta (inisialnya Dr. S dan Dr. C) mendiagnosis kalo gue mengidap kanker kelenjar thyroid dan harus segera dioperasi.

Orang tua gue langsung ngambil keputusan dengan menerbangkan gue ke Singapur buat dioperasi secepatnya. Jujur aja, sampe detik gue berada di ruang operasi, gue ga pernah kepikiran kalo operasi gue ini adalah operasi besar dan sulit.

6 jam kemudian gue sadar dari pengaruh obat bius dan mendapati keadaan gue bagaikan dipasung. Selang infus terpasang bukan hanya di lengan kiri dan kanan gue tetapi juga di pergelangan tangan kira dan kanan serta leher. Seorang perawat mendekati dan menanyakan keadaan gue tetapi ketika gue berusaha menjawab, tidak ada suara yang keluar.

Barulah setelah itu gue tahu bahwa ternyata untuk sementara gue memang tidak dapat bersuara akibat dari operasi tersebut. Gue juga tidak dapat bergerak karena banyaknya infus dan jarum suntik yang melekat di badan gue.

Pada saat tersebut, entah kenapa gue merasa sangat tidak berdaya. Bahkan untuk menelan ludah saja enggak bisa. Waktu itu gue bahkan kepikiran mending mati aja daripada ngerasai dipasung kaya gini. Akhirnya suatu malam gue nangis sejadi-jadinya. Nangis aja ga bisa ngeluarin suara. Gue bahkan sempet meronta-ronta yang akhirnya bikin perawat di situ sibuk nenangin gue. Gue baru bisa ditenangin setelah akhirnya gue disuntik obat penenang.

Setelah gue tenang, gue ga tau kenapa tiba-tiba aja bayangan temen-temen gue di Sanur tiba-tiba aja melayang-layang di pikiran gue (ada bayangannya Stella, Ida, Mochie, Pade, Yiska, etc). Gue juga tiba-tiba keingetan kalo bentar lagi itu Natal. Seketika gue tiba-tiba pengen banget cepetan sembuh. Gue pengen buru-buru keluar dari rumah sakit. Gue pengen balik lagi ke sekolah ketemu ama temen-temen gue n ngucapin Merry Christmas ke mereka.

Akhirnya sejak malem itu, gue bener-bener tenang buat nunggu saat-saat gue diijinin pulang ama dokter. Well, akhirnya sebulan kemudian gue boleh pulang juga ama dokter n rasanya happy... banget.

Gue bener2 ngerasa bersyukur banget punya orang-orang yang bisa gue bilang temen waktu itu. Kalo enggak, mungkin juga malem itu gue udah nyerah kalah ama jarum suntik dan infus di badan gue.

Thanks ya guys for being my true friends.

Wednesday, June 28, 2006

I Am Not Alone - Dite

Kadang, gue suka ngerasa sendirian. Maksudnya, banyak sahabat-sahabat gue yang sudah punya pacar, dan sepertinya sudah cukup yakin untuk menjadikan pacar mereka itu jadi suami di masa depan. Sedangkan gue, punya calon pacar aja belum. Kok, gue sendirian ya?

Tapi terus gue inget. Sebenernya, gue ga pernah sendirian. Ada keluarga besar gue yang selalu ada buat gue, yang sangat mencintai gue. Cuma, kadang gue suka lupa akan ‘keberadaan’ mereka. Gue kadang terlalu asik sama diri gue sendiri. Keegoisan gue membuat gue berpikir kalau hidup gue ‘menderita’. Gue nggak punya siapa-siapa untuk gue sayang-sayang. Padahal jelas-jelas ada keluarga besar gue yang bisa gue sayang-sayang, dan pasti menyayangi gue juga.

Walaupun gue kadang suka lupa, tapi kalau ada yang bertanya, siapa orang yang paling berarti buat gue, gue pasti akan langsung menjawab, my super big famz. Buat gue, mereka adalah segalanya. Mereka adalah orang-orang yang selalu mendukung dan menerima gue apa adanya. Apapun yang gue lakukan, mereka akan selalu mendukung gue. Mereka akan selalu bantuin gue melewati semuanya. Seberapa besar pun gue ‘mengkhianati’ mereka, kalau gue bener-bener butuh bantuan, mereka pasti akan berusaha sebesar-besarnya membantu gue. Mereka adalah orang-orang yang sayang sama gue waktu gue ngerasa kalo gue nggak pantas untuk disayang. Mereka adalah orang-orang yang sayang dan menerima gue apa adanya. No matter what.

Gue berpikir, mungkin memang belum waktunya gue ketemu sama jodoh gue. Belum waktunya punya pacar. Tidak punya pacar itu bukan suatu bencana besar kok sebenernya. Gue berpikir gue harus mencoba untuk santai. Suatu hari nanti pasti gue akan ketemu sama jodoh gue. Tapi kalau gue berpikir bahwa gue sendirian, itu salah besar. Gue akan selalu punya keluarga besar gue. Mereka adalah suporter gue yang paling setia. The best ever. I love my super big famz.
[1] Gue memakai frase “keluarga besar” di sini karena yang gue maksud bukan cuma kedua orang tua dan adik perempuan gue aja, tapi termasuk dua paman, dua tante, dan lima sepupu gue, yang sudah seperti orang tua dan saudara kandung gue.

Tuesday, June 27, 2006

Dreams will take us higher… - Wanda

Hadapi suatu bagian hidupku yang tiada bertepi
Berharap adanya suatu ujung yang bertepi
Entah kapan aku dapat berharap itu
Lamunan indah selalu membawaku ke akhir bahagia
Tetapi saat mata terbuka kembali menghadapi kenyataan
Bahwa kebahagiaan itu masihlah sangat jauh dari genggamanku
Tidaklah lelah menanti,
Karena aku tahu akhir bahagia adalah hak yang pasti kudapat
Aku hanya lelah bertanya pada hatiku,
Mengapa aku belum boleh mengecapnya
Ya..pertanyaan manusiawi bukan ?
Suatu hari,
Lamunanku akan menjadi realita yang akan ku jalani
Aku percaya…


“Bermimpilah selagi kita masih dapat bermimpi. Dari mimpi, terkadang kita menemukan apa yang kita mau dalam hidup kita. Bawalah mimpi itu dalam setiap doa dan raihlah dengan segenap kekuatan terbaikmu. Mimpi biasanya akan terwujud bila berjalan dengan iman…”


by : WeEmKa’06

Friday, June 23, 2006

Butterfly with the Broken Wings - Yiska

Butterfly with the Broken Wings
Lying down in the dry grass
Tries to pull up and gather some strength left
Just to try to safe herself
from danger that might come at their best

Butterfly with the Broken Wings
Clapping the wings and she tries to swing
to a place where there’ll be come morning
Cherish all the upcoming grace life will bring

Butterfly with the Broken Wings
Hate the rain as it falls from the sky
The rain that won’t let her wings run dry
The rain that tore her wings when she flies
The rain that made her let her teardrops cry

Butterfly with the Broken Wings
Now breathe uneasy from time to time
Made me realize she caught me inside

Thursday, June 22, 2006

Meski ia tak`kan pernah tahu…. - Nandha

Jam weker kuningku pemberian salah seorang teman sudah menunjukkan pukul duabelas malam hari, tetapi mataku belum mau terpejam mengingat kejadian hari ini antara aku dan Dito.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku mendapat satu pesan baru yang ternyata adalah balasan dari sms dari Dito yang kukirimkan 5 jam yang lalu. “maaf, bukan loe yg salah… Cuma gw aja yg lg error. Semua mslh ada di gw, gw jg ga ngerti knp gw bisa jadi org yg aneh. Suatu saat gw akan cerita ke loe. Semoga loe selalu bisa mendapatkan yg terbaik di hidup loe ”

Ternyata itu adalah sms terakhir darinya.
Semua cerita indah yang pernah aku dan dia buat selama sekitar empat bulan selesai sudah dalam satu hari. Karena apa, sampai sekarang pun aku tak pernah mengetahuinya.Waktu yang pernah ia janjikan di sms terakhirnya tidak pernah datang.

Jujur pada awalnya aku memang sangat menantikan “suatu saat” yang pernah ia janjikan padaku. Menurutku ia harus bertanggung jawab terhadap perasaan kagumku yang mulai menjelma rasa sayang padanya.

Kecewa, sedih, benci dan bingung bercampur aduk. Aku merasa dipermainkan karena sebelumnya tidak ada satupun pertanda yang menunjukkan ia mulai menjauh dariku.

Cukup.
Jika memang dia tidak mau mengatakan penyebab mengapa ia memutuskan hilang dari duniaku, aku akan mencari tahu dari orang-orang terdekatnya. Aku sangat giat mencari tahu, tetapi tak satu pun jawaban kutemukan.

Entah karena lelah atau sudah sanggup menerima semuannya, akhirnya setelah empat bulan berselang aku mulai menyadari hikmah yang ada di balik itu semua.
Dahulu sebelum ada Dito, yang datang secara tiba-tiba dalam kehidupanku, aku adalah seorang perempuan yang selalu berpikir bahwa: Selama perempuan mampu melakukan semuanya sendiri, peran laki-laki masih dapat dikesampingkan.

Pemikiran ini muncul berdasarkan latar belakang pendidikan sekolah menengahku. Selama tiga tahun di sekolah homogen, aku diajarkan bagaimana cara bersikap, bergaul dan berpikir logis mandiri demokratis tanpa embel-embel jenis kelamin.
Kami, para perempuan, mampu melakukan banyak hal.

Di rumahku pun, aku adalah anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Papa mengajarkan kami untuk tidak cengeng dan manja dalam menghadapi suatu masalah . Pemikiran yang terus kupegang teguh selama inilah yang membuat beberapa teman menganggapku terlalu sombong dan idealis tentang sosok pria.

Aku tak peduli. Bahkan tak jarang aku dicap terlalu “picky” dalam memilih pria, itu sebabnya sampai sebelum aku bertemu Dito, belum ada satu pun pria yang sanggup membuatku mengakui bahwa ternyata aku membutuhkan peran laki-laki dalam hidupku.

Aku memang telah kehilangan Dito karena alasan yang aku tidak pernah tahu dan tidak mau tahu lagi. Aku sudah cukup senang dengan caraku sendiri dalam menata perasaannku yang pernah carut marut karenanya.

Aku tidak menyesal, meskipun Dito tidak pernah tahu apa kata hatiku, setidaknya aku bisa dengan jujur mengakui bahwa seorang Dito yang datang secara tiba-tiba,kemudian membuat banyak cerita indah dan secara tiba-tiba pula menghilang dalam kehidupanku, ternyata sanggup mengubah pandanganku bahwa sesungguhnya pria ada untuk melengkapi perempuan demikian pula sebaliknya. (Nandha)

Sunday, June 18, 2006

Love and Kindness - Sendy

Dikenalin cowo? Wah… seneng banget, apalagi buat cewe kayak gw yang sekolah di sekolah homogen. Awalnya pas acara sweet 17th saudara gw. Gw dateng bareng saudara-saudara gw yang lain. Waktu akhir acara, saudara gw yang ulang tahun itu, sebut aja namanya Sasa, kenalin gw sama temen sekolahnya, cowo, gendut, namanya Radit (bukan nama asli). Ga tau kenapa gw bener-bener ga interest ama dia. Sama sekali ga interest. Dia juga keliatannya biasa aja.

Setelah pesta si Sasa, gw ga pernah contact ma dia. Tiba-tiba gw dapet info dari Sasa kalau dia suka ma gw sejak pesta sweet 17th Sasa. Terus, gw bilanng sama Sasa klo gw ga suka sama dia dan bener-bener ga tertarik. Tapi kayaknya si Radit tetap gencar buat deketin gw. Hampir tiap hari dia telpon gw. Hampir tiap weekend ajak gw jalan. Klo dia pergi travelling pasti ada oleh-oleh buat gw. Waktu Valentine's Day aja dia ngajak gw dinner. Pokoknya perhatian banget. Sampe kadang gw bingung, kenapa dia kayak gitu, cowo bukan, kenal aja baru. Kadang-kadang gw sendiri sampe ga enak hati.

Waktu terus berjalan, gw dikenalin lagi ama temen sekolah gw ke temen SMPnya (cowo), namanya Reno (bukan nama asli), anaknya baik, wawasan luas, tampang biasa aja, ga tergolong ganteng malah. Tapi ga tau kenapa gw interest sama cowo satu ini. Dia juga ga kalah perhatian sama Radit. Hampir tiap hari telpon. Kira-kira udah hampir 2 bulan gw kenal dia. Akhirnya gw jadian.

2 tahun gw jadian. Gw masuk rumah sakit, gara-gara gejala usus buntu. Sebagai cewe gw rasa wajar klo gw berharap cowo gw bakal dateng, jenguk or apalah kasih perhatian buat gw yang lagi terkapar. Tapi semua harapan gw itu kagak ada yang terwujud. Cowo gw ga jenguk, apalagi jemput gw balik dari rumah sakit. Saat itu gw marah en kecewa banget sama dia. Hari ketiga akhirnya dokter ijinin gw pulank, katanya gw udah sehat. Ga gw sangka-sangka waktu nyokap lagi urus adminitrasi si Radit dateng jemput gw sama si Sasa, gw kaget banget. Karena setau gw, malemnya si Radit harus berangkat ke Australia buat sekolah. Terus, si Sasa bilang ke gw, katanya Radit pengen ketemu gw sebelum dia berangkat dan dia mau ngasih sesuatu buat gw. Nyokap juga ketemu, trus nyokap suruh gw anterin Radit ke bandara karena dia udah segitu baiknya nungguin dan jemput gw di rumah sakit (padahal gw baru aja keluar dari rumah sakit). Tapi, walaupun dia udah sebaik itu, tetep aja gw ga interest sama dia.

Selama dia di Australia (OZ), dia sering telpon gw, sms gw, Cuma buat sekedar nanyain kabar. Padahal saat itu gw masih jadian sama Reno. Setiap kali gw sms dan bilang klo gw lagi berantem sama Reno, pasti dia langsung telpon gw, nasehatin gw. Dia rela gw jadiin “tong sampah”. Dia selalu bilang klo dia selalu ada kapan gw butuh.

Dua tahun dia di OZ, akhirnya dia balik Jakarta buat holiday. Tapi gw ga ketemu, karena dia bilang sama temennya dia ga mau ketemu gw. Dia takut klo perasaan dia makin sakit lihat gw sama Reno.

Masuk tahun ketiga, dia balik Jakarta lagi buat holiday. Terus kita ketemuan, jalan bareng, saat ini gw juga masih jadi sama Reno. Tapi keadaan gw ma Reno benar-benar kayak kapal nabrak karam, ga stabil, sering berantem. Makanya waktu Radit di Jakarta gw seneng banget, karena gw tau dia orang rela jadi “tong sampah” gw. Klo gw berantem sama Reno, gw telpon dia, dan dia selalu ada buat tenangin gw. Entah ngajak jalan, atau ngobrol di telpon. Pokoknya dia selalu ada. 4 tahun gw uda jadian sama Reno, akhirnya gw ga tahan karena Reno yang belakangan ini suka seenaknya ga dengerin omongan gw lagi, dan kurang perhatian. Gw PUTUSSSS sama Reno. Gw syok berat, dan ga bisa terima kenyataan.

Lagi-lagi Radit ada di samping gw. Sejak saat itu gw sadar kayaknya cuma Radit yang bisa gw harapkan. Dan kayaknya emang Radit buat gw. Gw mulai bales semua kebaikan Radit. Tapi gw sedikit aneh, kenapa kali ini perhatian yang Radit kasih ke gw kayaknya perhatian seorang sahabat. Bukan perhatian seorang cowo yang lagi deketin cewe. Gw ga putus asa, gw cari tau tentang dia ke sahabatnya yang lain. Gw cari tau, apa sekarang dia uda jadian atau gimana. Karena gw ngerasa ada yang beda sama dia.

Akhirnya gw dapet info dari dia sendiri. Dia bilang klo dia uda jadian sama satu cewe. Dan dia sayang banget sama cewenya yang sekarang. Dia bilang, cewe ini telah berhasil membuat dia lepas dari kehidupannya yang lama, kehidupannya yang selalu terpaku sama satu cewe yaitu gw, sampe dia ga bisa pindah ke yang lain. Gw kaget, tapi, gw tetep ga putus asa.

Sampe sekarang gw sebenernya masih beraharap sama dia. Walaupun kadang gw berpikir itu semua kayaknya ga mungkin. Tapi gw percaya klo emang jodoh dia pasti bisa sama gw.

Mulai saat itu gw baru sadar, klo ternyata gw selama ini salah menilai seseorang dari fisiknya yang gendut dan biasa aja. Tapi dibalik semua itu, ternyata emang dia adalah orang yang paling perhatian sama hidup gw. Makanya sampe sekarang gw masih berharap sama dia. Gw nyesel uda bikin dia dulu kecewa sama gw.

Ada satu hal yang bikin gw ga bisa lupain dia. Dia pernah bilanng, klo suatu saat dia punya cewe atau istri, dan itu bukan gw. Dia tetep bakal menyisakan satu ruang kecil di hati dia buat gw.

Maka dari itu gw percaya cinta itu datang bukan dari mata turun ke hati aja. Tapi cinta juga bisa datang dari tingkah laku dan kebaikan, lalu kemudian baru turun ke hati.

Saturday, June 17, 2006

Memaafkan itu Melegakan - Yocie

Sewaktu kelas 1 SMA, aku berteman dekat dengan Stella dan Nita. Kami selalu bertiga ke mana pun kami pergi dan apa pun yang kami lakukan. Ketika kerja kelompok, kami bertiga sering tergabung dalam satu kelompok, baik sengaja maupun tidak sengaja. Kedekatan kami sering membuat teman- teman lain iri. Misalnya, ketika harus rolling tempat duduk di kelas, kami adalah satu-satunya kelompok yang tidak pernah dipecah oleh wali kelas. Akan tetapi, kedekatan kami mulai merenggang menjelang akhir tahun ajaran. Stella dan Nita telah berteman dekat sejak SMP, sementara aku baru berteman dengan mereka ketika masuk SMA walaupun kami satu sekolah ketika SMP. Pada waktu itu, aku mulai terganggu karena aku merasa mereka lebih dekat, terlebih mereka mengambil ekstrakurikuler yang sama dan menyukai hal- hal yang sama. Aku merasa sebagai seorang asing bagi mereka. Aku mulai menjauhkan diri dari mereka hingga akhirnya kami sama sekali tidak bertegur sapa ketika akhirnya tahun ajaran usai.

Kelas 2 SMU, kami tidak lagi sekelas. Aku pun menjalin pertemanan baru dengan beberapa teman sekelasku, tapi pertemanan kami tidaklah sedekat hubungan aku dengan Stella dan Nita. Terkadang, ketika aku melewati kelas Nita atau Stella sewaktu istirahat, aku melihat mereka tengah mengobrol sehingga aku kembali teringat sakit hatiku. Beberapa kali, Stella meneleponku, tetapi aku hanya menanggapi dengan setengah hati. Bahkan, aku tidak menganggapi potongan hati kertas merah muda yang diberikan Stella padaku yang berisikan keinginannya untuk terus berteman denganku (ketika itu, seluruh murid kelas 2 mendapat suatu pelatihan dan kami mendapat 2 potongan hati kertas merah muda untuk diberikan pada teman paling dekat dan 3 potongan hati kertas kuning untuk diberikan pada seseorang yang harap menjadi teman dekat).

Betapa kaget aku ketika aku menemukan bahwa aku sekelas dengan Nita sewaktu kelas 3. Aku lupa bahwa ia juga menyukai kelas Bahasa. Selama semester satu di Bahasa, aku hanya bertegur sapa seadanya dengan Nita; aku tidak mungkin menghindarinya karena kami hanya berdelapan belas dalam satu kelas. Bila terkadang Stella mengunjungi Nita di kelas kami (Stella masuk kelas IPA), aku selalu meninggalkan kelas atau menyibukkan diri dengan teman- teman yang lain.
Sialnya, ketika kelas kami dibagi kelompok retret, aku satu kelompok dengan Nita, dan ternyata juga dengan Stella. Selama retret, aku banyak merenung, dibantu oleh refleksi yang diberikan Romo pembimbing. Aku tahu bahwa jauh di dalam hati aku masih ingin berteman dengan mereka; bahkan, saat itu aku menyadari konyolnya alasanku marah pada mereka. Di sisi lain, aku juga iri karena mereka sangat dekat, juga selama retret ini. Pada malam terakhir, seperti biasa, kami diberikan waktu untuk mengaku dosa. Aku menunggu giliran dengan berdiam diri di dalam ruang ibadat. Tiba- tiba, aku menyadari Stella turut duduk di sampingku (aku melihatnya ketika keluar dari ruang pengakuan dosa). Tak disangka, ia tiba- tiba berkata, “Yos, maafkan aku ya. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kamu marah padaku. Tapi, apa pun itu, maafkan aku. Aku ingin kita kembali berteman.” Aku langsung berkaca- kaca dan kami pun berpelukan. “Nita juga ingin berteman lagi denganmu, tapi ia takut sama kamu,” lanjut Stella. “Jangan konyol!” sergahku seraya tertawa kecut.

Setelah mengaku dosa, aku berjalan- jalan dalam rumah retret dengan seorang teman. Di salah satu meja tamu, aku menegur temanku yang kulihat tengah memeluk seseorang yang tak dapat kulihat wajahnya. Betapa terkejutnya aku ternyata orang tersebut adalah Nita. Ia sedang menangis dalam pelukan temanku, yang memang teman Nita dan Stella juga. Aku menghampiri mereka seraya berkata, “Kenapa, Nit?” Nita hanya menangis. Di sela tangisnya, ia terbata berkata, “Yos, kenapa kamu marah padaku? Apa salahku?” Aku langsung memeluk punggungnya dan berkata, “Bukan, Nit, bukan kamu. Aku yang egois. Aku yang harusnya minta maaf. Maafkan aku, ya.” Nita masih menangis dan aku pun tak dapat menahan air mataku. Aku sadar beberapa murid yang lewat di dekat kami melihat kami dengan heran; bahkan, aku ingat wali kelas kami turut menghampiri kami. Aku tidak peduli karena saat itu aku kembali menemukan sahabat- sahabatku. Keesokan paginya, aku bangun dengan perasaan lega. Di hari terakhir itu, aku duduk bersama mereka dan kami mulai mengobrol, meski masih sedikit kaku. Sekembalinya dari retret, aku mendapati kelas Bahasa menjadi jauh lebih indah dan menyenangkan. Aku tahu itu semua disebabkan karena aku tidak lagi mempunyai “musuh.”

Friday, June 16, 2006

Ode Antimaaf - Fifi

Kapan seseorang boleh berhenti memaafkan? Kata Yesus Kristus, tujuh puluh kali tujuh puluh kali. Ku bukan seorang pandai matematika, memang, tapi menurut perhitungan hanya berujung pada satu kesimpulan yaitu tidak terbatas. Kalau ditipu milyaran rupiah, kalau dilecehkan bahkan diperkosa, kalau dikhianati kekasih, sampai kapan tidak terbatas bisa didefinisikan lagi....

Aku takkan menyangkal kemanusiaanku. Kalau ditipu seratus ribu rupiah, jangankan maaf akan kukejar penipu itu hingga akhir dunia bahkan akan kutuntut kerugianku beserta bunga-bunganya yang super mahal. Kalau dilecehkan atau diperkosa, dijawab akan memperkosa balik, itu akan menghina keperempuananku dan harga diriku, tapi akan kukeluarkan sumpah serapah dari hati dan berdoa sepenuh hati sekaligus menuntut kematian baginya, sadis?! Aku, seorang perempuan, akan menyerahkannya sesuai dan seturut dengan kemauanku bukan kemaluanmu! Kalau dikhianati kekasih, ehm... kukhianati dengan “teman tapi mesra” yang telah terjalin lebih dari masa pacaranku! Ini adalah ode kebencian dari seorang yang sulit mengucapkan kata maaf seperti diriku... Kalau kata Tao Ming Tse (yang diperankan dengan sangat menawan oleh Jerry Yan), “kalau bisa minta maaf, buat apa ada polisi?!”
Sayang sekali, polisi tidak berwenang dalam kasusku ini. Setiap kumelihat serasa ada kilatan neraka dan gairah membenci tak terkira. Bukan pelajaran moral yang baik kurasa bagi generasi harapan bangsa seperti diriku ini...

Hari pertama,
Aku masih bisa tertawa dan bertukar canda dengannya saat dunia masih utuh. Kami tak terpisahkan bahkan mungkin sejak takdir kami memang belum pernah bertemu. Bayanganku pun mungkin merasa dengki melihat ikatan kami.... Tak terpisahkan bahkan berpisah jalan takkan lepas dari genggaman.

Hari kedua,
Aku menangis bersamanya... Kalau sudah begini, langit pun akan berduka bersama kami. Kepalaku selalu tertunduk saat mengeluarkan airmata, nista terisak seperti anak kecil. Di hadapannya, aku tegakkan kepala dan bercucuran airmata, seperti anak kecil kehilangan orang tuanya. Tak hina kurasa hanya hampa.

Hari ketiga
Aku lemparkan segala benda kepadanya. Walau tak maksud mengenai, tetap berniat dia terluka. Hanya luka ringan ternyata... Tapi, dari diriku. Dia pun tetap tegar berdiri. Aku siap menerima lemparan benda darinya, tapi... hening... Aku berpikir mungkin sudah tak ada benda untuk dilempar lagi.

Hari keempat
Kami saling terdiam. Langit sedang tidak berduka, amarah tidak sedang meluap, namun senyum tak saling terlempar. Tetap terdiam. Terus terdiam. Hening. Sepi. Hampa.

Hari kelima

Hari keenam

Hari ketujuh

Aku bisa teruskan menulis tapi aku tidak tahu kelanjutannya. Kata maafkah yang seharusnya terlontar pada hari-hari tersebut??? Kosong tak berarti rela, hampa tak berarti sedia. Kata puitis dari mulutku yang tunduk pada kekerasan hatiku.
Kami pun berhenti, entah di mana, entah sampai kapan, entah kenapa...

Aku takkan menyangkal kemanusiaanku, setiap disakiti aku akan tetap meradang tak memaafkan.
Polisi mana yang berhak ikut campur? Urusan maling ayam saja sudah bikin kisruh malah ditambah dengan persoalan seorang yang tidak mengenal kosakata maaf.
Aku bukan utusan dari surga, ternyata. Tak satu kesabaran dan kebijaksanaan bisa menenggelamkan bara di hati ini. Walau aku harusnya khawatir, tak cuma hati tapi pikiran.
Waktu tidak pernah direnggut dari kami, kehidupan tidak pernah diambil dari kami. Begitu erat bergandengan tangan hingga lepas begitu saja. Bahkan tanpa kami sadari. Atau memang sudah demikian adanya?
Saat kulihatnya tidak semudah melempar benda lagi tapi kemurkaan atas ketidaktahuan, kepedihan atas kewajaran. Dunia masih utuh tapi bayangan kami pun terpisah...

Kisah kami tak seindah Romi dan Yuli atau setragis Cinderela tapi penuh makna. Aku tak sadar telah kehilangan tangannya dan dia pun berpaling.... Kami tak pernah terpisah, tak pernah benar-benar terpisah atau memang tak pernah menyatu. Kisahku bukanlah garis maya tapi tak pernah nyata. Bila kutanggalkan kemanusiaanku, apa bisa kupadamkan kilatan dosa ini? Apa bisa kutenangkan amukan emosi ini? Maafkah yang kan kuberi? Maafkah yang membuatku kembali menjadi manusia dan bukan manusia?

Sungguh bukan pelajaran moral yang biasa tapi tidak luar biasa. Kami sungguh berhenti tapi tidak aku dan dia. Harus kutempatkan di mana maaf itu? Pada aku atau dia atau kami?
(Fidelis Eka Satriastanti)

Thursday, June 15, 2006

Percaya atau Tidak - Vita

Berawal dari sebuah tugas kuliah, akhirnya aku bertemu dengan pria ini. Awalnya aku dan beberapa teman kampusku mendapat tugas untuk melakukan wawancara dengan Bea Cukai berkaitan dengan mata kuliah Ekspor Impor yang ku ambil. Dengan bantuan seorang teman eyangku, akhirnya aku dan teman-temanku dipertemukan dengan beberapa pegawai Bea Cukai yang baru lulus pusdiklat. Akhirnya kami mendapat banyak sekali bantuan dari teman-teman baru kami ini dalam penyelesaian makalah berkaitan dengan Bea Cukai tersebut.
Setelah pertemuan pertama tersebut, ternyata masih ada pertemuan-pertemuan berikutnya yang semakin mempererat hubungan pertemanan kami. Kami sangat senang mempunyai teman-teman baru dengan berbagai macam karakternya.
Namun, satu diantara mereka ada yang membuat hatiku tergerak. Memang pria ini boleh dikatakan paling cuek diantara teman-temannya yang lain. Kalau kita datang ke tempat mereka, dia bisa tuh acuh tak acuh dengan kita-kita. Selain itu, dia juga suka membuat orang tertawa dengan celetukan-celetukannya yang lucu. Jadi, kalo ngobrol dengan dia harus siap-siap dicuekin atau siap-siap tertawa sampai sakit perut.
Akan tetapi, sebenarnya dia adalah lelaki yang punya banyak kelebihan. Dia memiliki hati yang tulus kalau berteman, dia memiliki kejujuran yang sangat tinggi, dia memiliki perasaan yang lemah lembut, dan dia juga pintar. Meskipun, dia juga termasuk orang yang pemalu kalau bertemu dengan lingkungan baru.
Itulah mengapa, semakin hari aku semakin mengaggumi pria ini. Awalnya hanya karena sering telpon dan curhat tentang berbagai masalah. Akhirnya secara tidak langsung aku mengetahui bagaimana sifat aslinya. Dibalik kecuekan dan rasa malunya itu, dia memiliki hati yang sungguh sangat baik.
Akhirnya, kami pun sepakat untuk memperteguh hubungan ini. Betapa bahagianya hatiku saat itu.
Berjalannya waktu, semakin banyak yang kami lewati. Suka dan duka kami lewati bersama. Pada awalnya, aku susah menerima sikapnya yang terlalu cuek itu. Sikap seakan-akan tidak punya pacar. Bagaimana tidak, kita khan sekarang sudah berkomitmen untuk pacaran, namun sikapnya masih saja sama seperti yang dulu. Kalau ingat telpon, kalau nda yach nda telpon. Oh, please, betapa khawatirnya aku pada awal-awal dulu. Selalu berpikir, lagi ngapain yah, dia. Kemana aja hari ini. Sempet sih, aku marah dan sedikit kesal dengan sikap itu. Namun, akhirnya justru aku yang merasa tidak enak. Memang tidak seharusnya aku berpikir yang bukan-bukan tentang dia. Memang dia cuek dan itu sudah ku ketahui maka lebih baik berpikirlah positif. Nah, sejak itu aku mulai belajar memahami keadaan seperti itu dan belajar berpikir positif. Kekuatan rasa cintaku dan sayangku membuat aku untuk terus belajar memahami dirinya.
Well, sebenarnya itu bukan hal yang susah, namun terkadang kecurigaan itu datang begitu saja. Maka, di awal-awal kemarahanku dia selalu berkata cobalah untuk terus berpikir positif jangan curiga terus serta percaya saja bahwa dia memang tidak berbuat yang bukan-bukan. Kepercayaanku padanya memang ada dasarnya. Memang dia tidak pernah berbuat macam-macam dan segala hal selalu diceritakan padaku. Meski telat ceritanya, namun aku selalu tahu dia kemana, pergi dengan siapa, ngapain aja. Maka sejak itu aku mulai belajar berpikir bahwa dia punya kehidupan lain selain hanya telpon dan bertemu dengan aku atau mendengar cerita-cerita aku. Akhirnya saat ini, aku sudah mulai terbiasa dengan sikapnya yang seperti itu. Kalau aku kangen dan butuh ngobrol aku akan telpon dia. Namun, jika tidak ditelpon pun aku tidak akan mempermasalahkan lagi. Buat aku, hubungan seperti ini sebenarnya layak dilakukan. Hubungan yang penuh kecurigaan tentu tidak akan berjalan mulus. Aku selalu menerapkan pada diriku bahwa percayalah pada dia. Berikan kebebasan kepada dia karena tidak munafik aku pun juga butuh kebebasan. Dengan kita percaya kepadanya maka mudah-mudahan dia pun akan percaya dengan aku. Memang tidak juga dapat disalahkan jika sikap ku yang begitu menerima dia karena perasaan sayangku begitu dalam. Namun, begitulah adanya. Aku masih ingin bersama dia dan melewati hari-hari bersama dia.
Namun suatu masalah besar sempat menghiasi hubungan ini ketika dia sempat dekat dengan wanita lain. Aku sebenarnya tidak masalah dia mau dekat dengan siapa saja karena selama ini pun banyak wanita yang dekat dengan dia. Aku amat memaklumi dia mau dekat dengan wanita manapun. Seperti aku bilang kebebasan itu memang perlu. Namun, Aku marah karena dia seakan-akan menutupi hubungannya dengan wanita ini. Awalnya, dia cerita tentang wanita ini yang sering SMS atau telpon dia, namun lama-lama seringnya mereka SMS membuatku geram. Apalagi ketika aku tahu dan sengaja membaca SMSnya. Betapa aku semakin geram karena SMSnya begitu romantis. Bahkan dia bisa mengirim SMS yang sama kepada dia dan kepada aku. What? Inilah awal kemarahanku. Betapa saat itu, aku begitu sakit hati, begitu marah. Luluh sudah semua kepercayaanku. Hampir saja kubilang lebih baik akhiri saja hubungan ini.
Kembali perasaan sayangku membuat aku sadar untuk tidak begitu saja meledak-ledak karena amarah. Jadi, kuputuskan untuk mengatakan semua keluh kesahku dan kekecewaanku saat itu. Memang, saat itu aku marah besar. Namun, aku juga berusaha untuk mendengarkan alasan-alasan dia mengapa bersikap begitu.
Well, akhirnya aku menyadari bahwa aku dan dia pun masih banyak kekurangan. Aku yang terlalu sensitif hingga kadang-kadang menyebalkan buat dia. Dia yang terlalu cuek hingga kadang-kadang menyebalkan buat aku. Memang sikap baik dan ramah yang ada dalam dirinya itu terkadang dapat membuat bumerang buat dirinya sendiri. Sehingga saat itu, aku berkata belajarlah bersikap tegas terhadap suatu hal hingga orang lain akan lebih mengerti keinginanmu.
Setelah peristiwa tersebut, aku berusaha membangun kembali kepercayaanku yang pernah runtuh. Aku harus mulai kembali memahami watak dia seperti apa. Aku harus meluluhlantakan tembok-tembok kecurigaan. Memang berat, namun aku harus kembali berusaha demi keutuhan hubungan ini.
Hingga saat ini, aku pun sudah semakin dapat memahami apa dan bagaimana karakter dia. Perbedaan itu memang selalu ada dalam sebuah hubungan kasih namun bukan untuk saling menyalahi melainkan untuk dipahami sehingga menimbulkan saling perngertian dan hubungan yang indah.
Mengenal dia, membuat aku terus belajar mengenai makna hidup dan cinta sesungguhnya. Membuat aku bahagia menikmati hari-hariku. Membuat aku belajar untuk terus berpikir positif terhadap segala hal dan belajar untuk memulai segala hal dengan penuh keterbukaan.
Terima kasih telah mengajarkanku tentang segala hal. Terima kasih atas semua yang telah kau berikan untukku. Terima kasih telah memberiku banyak motivasi.(sm)


Dedicated to my beloved guy.