Thursday, June 22, 2006

Meski ia tak`kan pernah tahu…. - Nandha

Jam weker kuningku pemberian salah seorang teman sudah menunjukkan pukul duabelas malam hari, tetapi mataku belum mau terpejam mengingat kejadian hari ini antara aku dan Dito.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku mendapat satu pesan baru yang ternyata adalah balasan dari sms dari Dito yang kukirimkan 5 jam yang lalu. “maaf, bukan loe yg salah… Cuma gw aja yg lg error. Semua mslh ada di gw, gw jg ga ngerti knp gw bisa jadi org yg aneh. Suatu saat gw akan cerita ke loe. Semoga loe selalu bisa mendapatkan yg terbaik di hidup loe ”

Ternyata itu adalah sms terakhir darinya.
Semua cerita indah yang pernah aku dan dia buat selama sekitar empat bulan selesai sudah dalam satu hari. Karena apa, sampai sekarang pun aku tak pernah mengetahuinya.Waktu yang pernah ia janjikan di sms terakhirnya tidak pernah datang.

Jujur pada awalnya aku memang sangat menantikan “suatu saat” yang pernah ia janjikan padaku. Menurutku ia harus bertanggung jawab terhadap perasaan kagumku yang mulai menjelma rasa sayang padanya.

Kecewa, sedih, benci dan bingung bercampur aduk. Aku merasa dipermainkan karena sebelumnya tidak ada satupun pertanda yang menunjukkan ia mulai menjauh dariku.

Cukup.
Jika memang dia tidak mau mengatakan penyebab mengapa ia memutuskan hilang dari duniaku, aku akan mencari tahu dari orang-orang terdekatnya. Aku sangat giat mencari tahu, tetapi tak satu pun jawaban kutemukan.

Entah karena lelah atau sudah sanggup menerima semuannya, akhirnya setelah empat bulan berselang aku mulai menyadari hikmah yang ada di balik itu semua.
Dahulu sebelum ada Dito, yang datang secara tiba-tiba dalam kehidupanku, aku adalah seorang perempuan yang selalu berpikir bahwa: Selama perempuan mampu melakukan semuanya sendiri, peran laki-laki masih dapat dikesampingkan.

Pemikiran ini muncul berdasarkan latar belakang pendidikan sekolah menengahku. Selama tiga tahun di sekolah homogen, aku diajarkan bagaimana cara bersikap, bergaul dan berpikir logis mandiri demokratis tanpa embel-embel jenis kelamin.
Kami, para perempuan, mampu melakukan banyak hal.

Di rumahku pun, aku adalah anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya adalah perempuan. Papa mengajarkan kami untuk tidak cengeng dan manja dalam menghadapi suatu masalah . Pemikiran yang terus kupegang teguh selama inilah yang membuat beberapa teman menganggapku terlalu sombong dan idealis tentang sosok pria.

Aku tak peduli. Bahkan tak jarang aku dicap terlalu “picky” dalam memilih pria, itu sebabnya sampai sebelum aku bertemu Dito, belum ada satu pun pria yang sanggup membuatku mengakui bahwa ternyata aku membutuhkan peran laki-laki dalam hidupku.

Aku memang telah kehilangan Dito karena alasan yang aku tidak pernah tahu dan tidak mau tahu lagi. Aku sudah cukup senang dengan caraku sendiri dalam menata perasaannku yang pernah carut marut karenanya.

Aku tidak menyesal, meskipun Dito tidak pernah tahu apa kata hatiku, setidaknya aku bisa dengan jujur mengakui bahwa seorang Dito yang datang secara tiba-tiba,kemudian membuat banyak cerita indah dan secara tiba-tiba pula menghilang dalam kehidupanku, ternyata sanggup mengubah pandanganku bahwa sesungguhnya pria ada untuk melengkapi perempuan demikian pula sebaliknya. (Nandha)

No comments:

Post a Comment