Saturday, June 17, 2006

Memaafkan itu Melegakan - Yocie

Sewaktu kelas 1 SMA, aku berteman dekat dengan Stella dan Nita. Kami selalu bertiga ke mana pun kami pergi dan apa pun yang kami lakukan. Ketika kerja kelompok, kami bertiga sering tergabung dalam satu kelompok, baik sengaja maupun tidak sengaja. Kedekatan kami sering membuat teman- teman lain iri. Misalnya, ketika harus rolling tempat duduk di kelas, kami adalah satu-satunya kelompok yang tidak pernah dipecah oleh wali kelas. Akan tetapi, kedekatan kami mulai merenggang menjelang akhir tahun ajaran. Stella dan Nita telah berteman dekat sejak SMP, sementara aku baru berteman dengan mereka ketika masuk SMA walaupun kami satu sekolah ketika SMP. Pada waktu itu, aku mulai terganggu karena aku merasa mereka lebih dekat, terlebih mereka mengambil ekstrakurikuler yang sama dan menyukai hal- hal yang sama. Aku merasa sebagai seorang asing bagi mereka. Aku mulai menjauhkan diri dari mereka hingga akhirnya kami sama sekali tidak bertegur sapa ketika akhirnya tahun ajaran usai.

Kelas 2 SMU, kami tidak lagi sekelas. Aku pun menjalin pertemanan baru dengan beberapa teman sekelasku, tapi pertemanan kami tidaklah sedekat hubungan aku dengan Stella dan Nita. Terkadang, ketika aku melewati kelas Nita atau Stella sewaktu istirahat, aku melihat mereka tengah mengobrol sehingga aku kembali teringat sakit hatiku. Beberapa kali, Stella meneleponku, tetapi aku hanya menanggapi dengan setengah hati. Bahkan, aku tidak menganggapi potongan hati kertas merah muda yang diberikan Stella padaku yang berisikan keinginannya untuk terus berteman denganku (ketika itu, seluruh murid kelas 2 mendapat suatu pelatihan dan kami mendapat 2 potongan hati kertas merah muda untuk diberikan pada teman paling dekat dan 3 potongan hati kertas kuning untuk diberikan pada seseorang yang harap menjadi teman dekat).

Betapa kaget aku ketika aku menemukan bahwa aku sekelas dengan Nita sewaktu kelas 3. Aku lupa bahwa ia juga menyukai kelas Bahasa. Selama semester satu di Bahasa, aku hanya bertegur sapa seadanya dengan Nita; aku tidak mungkin menghindarinya karena kami hanya berdelapan belas dalam satu kelas. Bila terkadang Stella mengunjungi Nita di kelas kami (Stella masuk kelas IPA), aku selalu meninggalkan kelas atau menyibukkan diri dengan teman- teman yang lain.
Sialnya, ketika kelas kami dibagi kelompok retret, aku satu kelompok dengan Nita, dan ternyata juga dengan Stella. Selama retret, aku banyak merenung, dibantu oleh refleksi yang diberikan Romo pembimbing. Aku tahu bahwa jauh di dalam hati aku masih ingin berteman dengan mereka; bahkan, saat itu aku menyadari konyolnya alasanku marah pada mereka. Di sisi lain, aku juga iri karena mereka sangat dekat, juga selama retret ini. Pada malam terakhir, seperti biasa, kami diberikan waktu untuk mengaku dosa. Aku menunggu giliran dengan berdiam diri di dalam ruang ibadat. Tiba- tiba, aku menyadari Stella turut duduk di sampingku (aku melihatnya ketika keluar dari ruang pengakuan dosa). Tak disangka, ia tiba- tiba berkata, “Yos, maafkan aku ya. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kamu marah padaku. Tapi, apa pun itu, maafkan aku. Aku ingin kita kembali berteman.” Aku langsung berkaca- kaca dan kami pun berpelukan. “Nita juga ingin berteman lagi denganmu, tapi ia takut sama kamu,” lanjut Stella. “Jangan konyol!” sergahku seraya tertawa kecut.

Setelah mengaku dosa, aku berjalan- jalan dalam rumah retret dengan seorang teman. Di salah satu meja tamu, aku menegur temanku yang kulihat tengah memeluk seseorang yang tak dapat kulihat wajahnya. Betapa terkejutnya aku ternyata orang tersebut adalah Nita. Ia sedang menangis dalam pelukan temanku, yang memang teman Nita dan Stella juga. Aku menghampiri mereka seraya berkata, “Kenapa, Nit?” Nita hanya menangis. Di sela tangisnya, ia terbata berkata, “Yos, kenapa kamu marah padaku? Apa salahku?” Aku langsung memeluk punggungnya dan berkata, “Bukan, Nit, bukan kamu. Aku yang egois. Aku yang harusnya minta maaf. Maafkan aku, ya.” Nita masih menangis dan aku pun tak dapat menahan air mataku. Aku sadar beberapa murid yang lewat di dekat kami melihat kami dengan heran; bahkan, aku ingat wali kelas kami turut menghampiri kami. Aku tidak peduli karena saat itu aku kembali menemukan sahabat- sahabatku. Keesokan paginya, aku bangun dengan perasaan lega. Di hari terakhir itu, aku duduk bersama mereka dan kami mulai mengobrol, meski masih sedikit kaku. Sekembalinya dari retret, aku mendapati kelas Bahasa menjadi jauh lebih indah dan menyenangkan. Aku tahu itu semua disebabkan karena aku tidak lagi mempunyai “musuh.”

No comments:

Post a Comment